TIMES TEGAL, TEGAL – Siang itu, Gedung Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Tegal (Perpuda Tegal) berubah jadi arena semangat! Aula sederhana mendadak riuh—bukan karena pinjam buku, tapi karena bedah novel sejarah "Menghadang Kubilai Khan" (MKK) karya Antun Jaka (AJ) Susmana.
Buku tebal 348 halaman ini, yang sudah keliling kota, akhirnya mendarat di Tegal dengan sambutan luar biasa. AJ Susmana hadir bukan sekadar penulis, melainkan penjaga cerita bangsa yang ingin dititipkan kembali.
Fatur, Ketua PWI Tegal, membuka acara penuh optimistis: “Ini pertama kalinya MKK dibedah di perpustakaan—nuansanya beda!”
“Ini pertama kalinya bedah buku MKK di Gedung Perpustakaan sebelumnya sudah berlangsung di lima lokasi, tapi suasana perpustakaan memberi nuansa berbeda.” ujar Faturokhman, Jumat (14/11/2025).
Susmono memulai pemaparannya tanpa banyak pengantar. Dengan suara tenang, ia menjelaskan dorongan yang membuatnya menulis novel setebal 348 halaman tersebut.
“Sejarah nasional seringkali berbicara tentang kejayaan, tapi terlalu sedikit yang menyinggung perlawanan terhadap aksi kekuatan asing.”
Ia lalu menyebut satu tokoh yakni Raja Kertanegara dari Singasari, pemimpin yang pada abad ke-13 berani menolak ancaman Kubilai Khan.penguasa Mongolia yang menguasai separuh dunia.
“Pada masa itu hanya dua negara yang berani menghadapi Imperium Mongol: Jepang dan Indonesia melalui Singasari,” tegasnya.
Susmana menegaskan bahwa novel ini bukan sekadar sejarah, juga bukan murni fiksi. Ia menyebut pendekatannya sebagai “kisah mendahului fakta” ruang kreatif tempat imajinasi bekerja saat data sejarah masih bertaut samar-samar.
Ia menekuni naskah kuno, literatur, catatan lisan, dan berbagai potongan sejarah lain untuk menyusun gambaran utuh masa abad ke-13.
Yakni masa ketika kepulauan Nusantara belum berbentuk bangsa, namun telah mengenal apa artinya mempertahankan harga diri
Annisa Lituhayu, JAKER sekaligus sebagai narasumber, melihat novel MKK sebagai lebih dari sekadar karya sastra. “Nilai yang dibawa novel ini bukan dari teori politik modern, melainkan dari kisah heroik masa lalu Nusantara.”
Ia menilai perjuangan Singasari tidak hanya soal memegang senjata, tetapi tentang menata kehidupan politik penuh intrik dan kesetiaan, pengkhianatan, serta hingga perdebatan panjang.
Semua itu, menurut Annisa, adalah cermin dari perjalanan bangsa yang masih relevan hingga hari ini.
Masih diruqng yang sama, Indra Rustiono, Plt Sekretaris Dinas Perpusip Kabupaten Tegal, menyampaikan bahwa kegiatan seperti ini memberi napas baru bagi perpustakaan.
“Bedah buku bukan sekadar seremonial,” ujarnya. “Literasi adalah gerakan. Dari sini nanti akan terbentuk ekosistem literasi yang bisa melahirkan penulis-penulis Tegal.
Di ruangan itu, sastra tidak hanya dipuja, tetapi juga diuji. Karya tidak hanya dipuji, tetapi dipertanyakan dan di situlah letak kehidupan sebuah bedah buku.
Ketika acara resmi ditutup, waktu hampir beranjak sore. Namun para peserta tampak enggan pulang masih berbincang dengan memperdebatkan tokoh-tokoh yang baru saja dibahas.
Di Gedung Perpusda Kabupaten Tegal AJ Susmana dalam karyanya "Menghadang Kubilai Khan" tidak hanya menjadi novel sejarah tapi berubah menjadi jembatan menghubungkan generasi, gagasan, dan identitas.
Bahkan bisa menjadi cermin, menuntun bangsa menatap kembali ke masa lalu untuk memahami langkah ke depan.(*)
| Pewarta | : Cahyo Nugroho |
| Editor | : Hendarmono Al Sidarto |