TIMES TEGAL, TEGAL – Di tengah meningkatnya isu lingkungan global mulai dari perubahan iklim, deforestasi, hingga kerusakan ekosistem Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Pekalongan Barat terus berupaya menjaga kelestarian hutan sumber kehidupan masyarakat.
Wilayah kerja KPH Pekalongan Barat yang meliputi bentang alam hutan pegunungan hingga pesisir ini menjadi penyangga ekologis penting bagi Jawa Tengah bagian barat.
Musibah banjir yang melanda Bumiayu pada 8 November 2025 sempat menyeret nama Perhutani. Tuduhan demi tuduhan beredar dari kerusakan hutan hingga pembiaran kawasan.
Namun di balik hiruk-pikuk opini itu, para petugas di lapangan justru masih memulai babak panjang pemulihan hutan yang telah lama terluka.
Wakil Administratur KPH Pekalongan Barat, Triyono, mewakili Administratur Prasetyo Lukito, menggeleng pelan ketika ditemui Jumat (14/11/2025) di ruang kerja usai giat rutin di lereng Gunung Slamet.
“Tidak benar jika ada yang menyebarkan isu kami membiarkan hutan rusak,” ujarnya tegas. “Kelestarian hutan itu tanggung jawab bersama, bukan hanya Perhutani.”
Itulah prinsip yang menjadi dasar langkah langkah mereka ambil sejak November 2023 ketika sebuah gerakan penanaman besar-besaran dimulai.
Ribuan bibit baru menghijaukan kembali lereng Gunung Slamet, hasil kolaborasi antara pemerintah daerah, komunitas, hingga warga desa sekitar hutan.
Namun, hutan bukanlah sekadar proyek membalikkan telapak tangan yang selesai saat tenda penanaman dibongkar, spanduk acara diturunkan. Ia hidup, tumbuh, rentan. Ia butuh penjaga.
Setiap hari, minimal ada tiga petugas diturunkan untuk patroli, mengecek bibit, menjaga area rawan perambahan, hingga memberi edukasi pada warga yang masih menggarap sayuran di zona terlarang.
“Sosialisasi itu tidak hanya dilakukan saat ada masalah,” jelas Triyono. “Kami lakukan rutin bahkan dari mimbar masjid ke masjid.” ujar Triono tegas
Dialog menjadi kunci. Pendekatan pun dilakukan dari rumah ke rumah, dari tokoh masyarakat hingga kelompok tani, sembari mencari solusi bersama pihak pemerintah Brebes, dinas hingga Forkompincam.
Tujuannya satu, membantu masyarakat beralih dari tanaman yang telah merusak struktur tanah ke tanaman kehutanan yang lebih lestari.
Patroli gabungan pun digiatkan. Bagi Sugiyono, Humas KPH Pekalongan Barat, tantangan terbesarnya justru ada pada pola pikir.
“Kesadaran masyarakat itu penting. Tanpa mereka, pelestarian hutan tidak akan pernah benar-benar berhasil,” ujarnya saat mendampingi Waka KPH Pekalongan Barat.
Bagi warga yang berada di lereng bawah, hutan mungkin terlihat sebagai latar pemandangan, tetapi sebenarnya ia adalah benteng ekologis menjaga air, mengatur iklim, dan mencegah bencana.
Ketika akar-akar hilang, tanah menjadi rapuh dan rapuhnya itulah yang mengalir bersama banjir dan longsor namun hal ini perlu diantisipasi.
Di tengah kritik, hujan, dan keterbatasan, langkah-langkah sunyi Perhutani tetap berjalan. Menanam. Mengawasi. Merawat. Berdialog. Pekerjaan tanpa tepuk tangan, tetapi menentukan masa depan ekologi.

Hutan Slamet mungkin belum pulih sepenuhnya. Namun seperti bibit-bibit kecil yang kini menembus tanah mencari cahaya, upaya pelestarian itu terus tumbuh setapak demi setapak menjaga agar napas Gunung Slamet tak pernah hilang.
Selanjutnya Wakil Administratur KPH Pekalongan Barat, Triyono, menegaskan bahwa kelestarian hutan menjadi tanggung jawab bersama, pasalnya semua saling bertautan dalam berkehidupan
“Kami berharap masyarakat bisa melihat bahwa kelestarian hutan bukan hanya tanggung jawab Perhutani, tapi tanggung jawab bersama.” ungkap Triono tegas.
Dijelaskan, bahwa kesadaran kelestarian hutan adalah tanggung jawab bersama itu menjadi landasan berbagai langkah konkret yang telah dijalankan. (*)
| Pewarta | : Cahyo Nugroho |
| Editor | : Hendarmono Al Sidarto |