TIMES TEGAL, TEGAL – Di kaki Gunung Slamet Jawa Tengah dan tepatnya di Desa Cempaka, Kecamatan Bumijawa, Kabupaten Tegal, berdiri sebuah kawasan wisata kecil dan merupakan pasar kuliner tradisional yang perlahan menggerakkan ekonomi warga desa, namanya Pasar Slumpring.
Pasar ini menjadi satu lokasi dengan Tuk Mudal / Mata Air atau danau bersejarah yang tak megah, namun penuh makna.
Menariknya, setiap akhir pekan dan hari libur, tempat ini berubah menjadi ruang hidup bagi tradisi, kuliner, dan harapan bagi masyarakat sekitar.
Dibuka sejak akhir 2016, Pasar Slumpring bukan sekadar tempat transaksi. Ia adalah panggung bagi masyarakat desa untuk menunjukkan jati dirinya.
Gagasan ini bermula dari Abdul Khayyi, mantan kepala desa Cempaka, Kecamatan Bumijawa yang melihat potensi wisata desa bukan hanya sebagai destinasi, tetapi juga sebagai gerakan ekonomi mandiri.
"Jadi di sini yang berjualan itu harus warga desa dan Itu menjadi syarat utama sejak awal digagasnya Wisata Desa Slumpring," ujar Abdul Khayyi tegas yang ditemui TIMES Indonesia, Minggu (5/10/2025).
Kini, sekitar 60 pedagang aktif berjualan di Pasar Slumpring ini. Targetnya? Mencapai 100 hingga 300-an pedagang yang tanpa kehilangan nilai-nilai lokal.
Tidak ada makanan instan di pasar ini. Semua sajian adalah hasil olahan rumahan: dari nasi megono, getuk, jajan pasar, hingga wedang uwuh yang menenangkan dan rasanya seperti menyantap kenangan masa kecil yang jujur dan bersahaja.
Abdul Khayyi menambahkan, kehangatan di Pasar Slumpring tak hanya terasa dari aroma kulinernya, tetapi juga dari suasana yang dihidupkan bersama.
Di pasar ini terlihat anak-anak tertawa memainkan egrang dan panggalan, pengunjung naik sepeda air menyusuri aliran kecil danau Tuk Mudal dan suara musik mengalun hangatkan suasana dari panggung sederhana.
Nah, untuk menikmati beragam kuliner tradisional Pasar Slumpring pengunjung cukup membeli koin bambu seharga Rp2000 - Rp2.500 bukan sekadar alat tukar, tapi bagian dari pengalaman budaya.
Khayyi menegaskan bahwa pasar ini tidak mencari keuntungan sebesar-besarnya. Tiket masuk hanya Rp5.000. Parkir motor pengunjung cukup membayar Rp5.000, mobil Rp10.000.
Terkait jam operasional, Ia pun menjelaskan pasar Slumpring hanya buka sampai pukul 11.00 WIB agar tak mengganggu keseharian warga desa. Ini bentuk penghormatan pada ritme hidup lokal kelestarian lingkungan.
Namun di balik cerita indah ini, ada sebuah tantangan nyata. Fasilitas parkir masih sangat terbatas. Sempitnya lahan wisata membuat pengunjung harus memarkir kendaraan di tempat yang tidak ideal.
Abdul Khayyi mengatakan, pengelola wisata Slumpring pun berharap Pemerintah Kabupaten Tegal lebih aktif mendampingi, bukan sekadar memberi bantuan, tetapi menjadi mitra sejajar dalam membangun desa.
"Kalau desa diberi ruang dan kepercayaan, kami bisa berdiri di kaki sendiri," ungkap Khayyi. Harapan ini bukan mimpi kosong.
Pasar Slumpring telah membuktikan bahwa desa di Kaki Gunung Slamet bisa menjadi pusat kreativitas, ekonomi, dan pelestarian budaya, asal diberi kesempatan, didukung infrastruktur yang memadai.
Di tengah arus modernisasi yang kian kuat sehingga mampu menggerus akar tradisi, Pasar Slumpring hadir sebagai bukan saja sebagai penyeimbang.
Ia mengingatkan kita bahwa kekuatan bangsa ini tumbuh dari desa-desa, dari keramahan warga, dari kesederhanaan yang jujur, dan dari tangan-tangan ibu yang meracik rasa dengan cinta.(*)
Pewarta | : Cahyo Nugroho |
Editor | : Hendarmono Al Sidarto |